Setiap 24 September, Indonesia memperingati Hari Tani Nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan petani dan pengakuan peran mereka dalam pembangunan nasional. Hari Tani bukan sekadar peringatan, tetapi momentum untuk menegaskan kembali pentingnya kesejahteraan petani sebagai kunci tercapainya kecukupan pangan bagi semua. Peringatan ini sendiri telah berlangsung sejak lebih dari enam dekade lalu, sebagai penanda betapa panjang perjalanan pertanian Indonesia. Perjalanan itu juga diwarnai berbagai tantangan, termasuk keterbatasan teknologi benih pada masa lalu.
Sebelum hadirnya benih hibrida, kondisi pertanian Indonesia, khususnya hortikultura, masih jauh dari ideal. Benih yang diandalkan petani kala itu adalah benih yang disimpan dari musim ke musim tanpa jaminan kualitas. Akibatnya, produktivitas rendah, tanaman rentan penyakit, dan hasil panen tidak seragam. Upaya penelitian benih hibrida sebenarnya sudah dimulai sejak awal abad ke-20, namun penerapannya terbatas karena kendala teknis dan biaya tinggi. Setelah Perang Dunia II, eksperimen terus dilakukan terhadap varietas jagung, tetapi adopsi di tingkat petani kecil tetap rendah. Kondisi ini membuat petani menghadapi banyak keterbatasan. Hasil panen yang belum optimal sering kali belum sebanding dengan biaya produksi, ditambah akses terhadap teknologi dan informasi pun masih minim. Sehingga dalam perkembangannya, perusahaan swasta turut berperan aktif membantu pemerintah dalam memperluas penggunaan benih hibrida dan mendukung edukasi petani melalui berbagai media.
Warna baru pertanian hortikultura terjadi pada era 1990-an seiring hadirnya benih hibrida yang salah satunya diperkenalkan oleh PT East West Seed Indonesia (EWINDO) dengan merek Cap Panah Merah. Sejak itu, petani dapat menanam sayuran dengan benih unggul berteknologi modern yang produktivitasnya tinggi, hasil panen meningkat dan seragam, tanaman lebih tahan penyakit serta waktu panen yang lebih singkat alias genjah.
Dengan misi membantu petani kecil melalui benih sayuran berkualitas tinggi, tetapi juga melalui adopsi teknologi budidaya pertanian yang lebih maju dengan pelayanan terbaik. Setiap area penanaman sayuran adalah “kantor” bagi insan Cap Panah Merah untuk menjadi sahabat petani terbaik, sekaligus mendorong lahirnya petani milenial yang melek teknologi dan berorientasi pada pertanian berkelanjutan.
Kini, lebih dari 2,2 juta petani sayuran di seluruh Indonesia telah menikmati benih hibrida berkualitas tinggi. Selama 35 tahun, tak kurang dari 450 varietas sayuran unggul yang adaptif terhadap iklim tropis Indonesia telah diciptakan para peneliti EWINDO dan dimanfaatkan petani. Untuk memastikan terwujudnya hal itu, EWINDO bermitra dengan 29.000 petani dan 35.000 polinator serta membangun sarana riset terlengkap dan terbesar di sektor hortikultura di Indonesia.
Inovasi ini membuktikan bahwa kemajuan pertanian tidak lepas dari kolaborasi antara teknologi, edukasi, dan keberpihakan kepada petani. Hari Tani Nasional menjadi pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Dengan dukungan semua pihak, kita dapat mewujudkan pertanian berkelanjutan yang tangguh dan mampu menyejahterakan mereka yang selama ini menjadi garda terdepan ketahanan pangan bangsa.